Rabu, 13 Agustus 2014

Tentang Kutai Kartanegara

Kebudayaan di Kutai Kartanegara

 Lembuswana Mitos Sekaligus Maskot Kota Raja

Binatang ini tak pernah ada dialam nyata, namun patung dan keberadaanya bisa kita lihat nyata di Kutai kartanegara Kalimantan Timur. Lembuswana adalah hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai. Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (melambangkan dewaGanesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik ikan.
Dari sisi mitos dan legenda, maka kondisi geografis alam tempat sebuah komunitas bisa melahirkan berbagai cerita. Wilayah Kalimantan memiliki banyak sungai-sungai raksasa dan sangat panjang, misalnya di Kaltim terdapat sungai yang lebarnya ratusan meter, yakni Sungai Mahakam dengan panjang 920 Km melintasi tiga daerah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda, lalu Sungai Kayan mencapai 640 Km di Kabupaten Bulungan.
Khususnya Sungai Mahakam, masyarakat percaya bahwa terdapat seekor ular naga raksasa yang menjaga sungai tersebut. Konon katanya, saking besarnya naga tersebut, disebutkan bahwa kepalanya ada di Kota Tenggarong dan ekornya sampai Kota Samarinda. Sebagai wujud kepercayaan masyarakat tersebut, maka diadakanlah ritual peluncuran Naga Erau di Sungai Mahakam yang disisipkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara adat Erau di Kota Tenggarong, Kab Kutai Kartanegara.

Erau adalah upacara adat yang dahulunya dilaksanakan sebagai upacara kerajaan ketika terjadi perpindahan kekuasaan. Namun kini, karena sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk kerajaan, maka Erau dilaksanakan sebagai even budaya untuk memperingati HUT Kota Tenggarong, yakni pada tanggal 29 September. Prosesi peluncuran Naga Erau yang terbuat dari kain, bambu serta kayu itu adalah sebagai tanda (simbolis) bahwa akan ditutupnya atau telah selesainya rangkaian pesta budaya Erau. Ritual yang melibatkan tokoh masyarakat dan sultan Kutai itu melambangkan tanda syukur warga setempat yang selama ini telah mendapat limpahan rahmat dari Allah serta permohonan tolak bala agar negeri ini selalu tentram dan damai. Ular Naga Erau tersebut tidak terlepas dari mitologi Kutai tentang sebuah bayi perempuan yang dikawal seekor naga dan dibawa binatang mistis, Lembuswana.
Lembuswana adalah binatang aneh dan tergolong satu-satunya spesies paling langka di dunia namun sudah tentu tidak terdaftar dalam Appendix I Cites karena hanya hidup dalam mitologi Kutai yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu itu. Lembuswana adalah wahana Batara Guru yang disebut dalam falsafah :”Paksi leman gangga yakso” yang berarti: bahwa seorang seyogyanya memiliki sifat-sifat mulia pengayom rakyat. Penduduk setempat mempercayai bahwa makhluk ini merupakan ‘kendaraan spiritual’ dari raja Mulawarman, yang merupakan raja kutai pada zaman kejayaan Hindu. Lembuswana kemudian dijadikan Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara. Di Museum Mulawarman yang berlokasi di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara itu terdapat satu koleksi patung Lembuswana yang terbuat dari kuningan. Lembuswana dibuat di Birma pada 1850 dan tiba di Istana Kutai Kartanegara pada 1900.
Menurut legendanya, ada seorang bayi yang dikawal Ular Naga Lembu dan dibawa oleh Lembuswana. Bayi tersebut kemudian dikenal sebagai Putri Junjung Buih dan menjadi Putri Karang Melenu yang menjadi pendamping hidup raja Kutai Kartanegara pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti yang akhirnya melahirkan para sultan di Kota Raja itu.
Jadi meskipun kini secara fisik Ular Naga Lembu dan Lembuswana itu mungkin tidak ada, namun akan tetap hidup dalam jiwa dan semangat warga Kutai dalam membangun derahnya. Lembuswana sudah sudah menjadi mitos sekligus maskot dari Kota Raja, kabupaten terkaya di Indonesia ini ternyata masih menjunjung tinggi legenda tanah leluhurnya.
Erau
Erau adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan. Sumber



 

Makanan Khas Kutai Kartanegara


NAMA nasi bakepor mungkin masih asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan, mereka yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, dan sekitarnya pun mungkin masih banyak yang belum tahu tentang nasi ini.

Nasi bakepor merupakan makanan khas dari Kutai di zaman kerajaan. Saat ini, kita tidak masuk kasta raja untuk menikmati nasi ini. Nasi Bakepor merupakan makanan khas dari Kutai Kartanegara. Menu ini dulu menjadi hidangan untuk para raja Kutai di zaman kerajaan. Saat ini, kita tidak perlu menjadi raja untuk menikmati nasi ini.

Hajjah Ainun Djariah Asli Amin adalah pelopor sekaligus pelestari nasi bakepor. Karena kiprahnya, makanan langka di Bumi Etam, Kalimantan Timur, ini masih bisa dinikmati.

Berawal dari rasa ingin mempertahankan makanan lokal Kutai yang hampir punah, Acil Inun, panggilan akrab Ainun, membuka Warung Selera Acil Inun yang menyajikan berbagai makanan khas dari Kalimantan Timur pada 2002. Lokasinya berada di Jalan Kadrie Oening, Samarinda.

“Nasi bakepor tidak kalah dengan masakan modern,” kata Ainun.

Nasi bakepor memang menjadi salah satu menu unggulan di warung makannya. Selain itu, usaha Ainun ini membawa berkah bagi keluarga dan karyawan-karyawannya.

Dengan menu ini, Acil Inun sering diundang dalam acara festival masakan Nusantara di Jakarta. Karena nasi ini pula, sang pemilik bisa bertemu langsung dengan Presiden Susilo Yudoyono. Peristiwa itu ia abaikan dan dipajang dengan penuh kebanggaan di dinding warung makanannya.

Untuk meraciknya, rempah-rempah dan beras yang sudah dicuci dimasukkan ke dalam kenceng atau kendil khusus seperti rantang dan dimasak di atas bara api yang menyala. Begitu nasi menjadi setengah matang, nasi harus dipindahkan ke bara sampai nasi menjadi tanak.

Sebelum dihidangkan, tambahkan lagi daun kemangi, cabai, ikan goreng kering yang sudah dihancurkan, dan sedikit perasan jeruk nipis ke dalam nasi. Setelah itu, semuanya diaduk-aduk hingga merata. Dan nasi bakepor pun siap dinikmati. Proses memasak  hingga siap dihidangkan ini memakan waktu minimal 45 menit.

Sekilas, rasa nasi bakepor mirip dengan nasi uduk. Akan tetapi, jika sedang dinikmati, lama kelamaan rasa ikan dan rempahnya akan lebih terasa. Rasa rempah-rempah dan campurannya memang akan terasa jika nasi bakepor dihidangkan langsung di kendi atau kenceng. Dan untuk mendapatkan kenikmatannya, jangan dimakan terburu-buru.

“Menikmati nasi bakepor harus pelan-pelan agar bisa merasakan rasa yang berbeda-beda dari tiap kunyahannya,” ujar Ainun.

Dari penampilannya, tekstur nasi tidak terlalu lembut sehingga tidak akan menimbulkan kesan eneg. Nasi bakepor juga terlihat agak pucat dan berminyak karena sudah tercampur dengan ikan goreng.

Untuk mendapatkan ikannya, Ainun mendatangkan langsung dari Sungai Mahakam sebanyak sembilan puluh persen dari yang dimasak. Ada pula yang didatangkan langsung dari Samarinda.

Aslinya, nasi bakepor yang asli dibuat dalam takaran besar dan tanpa lauk. Namun, bagi yang senang dengan rasa pedas, bisa memesan sambal raja yang super nikmat sebagai pelengkap. Sambal ini terdiri dari enam macam sambal yang dijadikan satu (sambel terong goreng, kacang panjang, kucai, telur rebus, ikan haruan, udang rebus, dan mangga kueni).

Harga yang ditawarkan pun relatif tidak terlalu mahal. Untuk satu porsi nasi bakepor, ia dijual dengan harga Rp30 ribu. Sedangkan satu piring sambal raja dihargai Rp35 ribu.

Selain makanan andalan tersebut, Warung Selera Acil Inun juga menawarkan banyak menu lain, seperti sambal goreng udang pete, sayur asam tangkar, pindang kepala ikan, sayur keliling atau cah kangkung. Untuk minuman andalan, disediakan nyiur atau kelapa.

Walaupun di Samarinda rumah makan semakin menjamur, rumah makan Acil Inun tidak berkurang pengunjungnya. Selain makanan yang enak, khas, dan unik, rumah ini juga memberikan atmosfir yang nyaman. Tamannya tertata rapid an asri. Sebelum pintu masuk, dibuat jembatan dan kolam ikan yang dihiasi dengan air mancur.

Sementara itu, untuk memberikan warna Kalimantan Timur beserta kebudayaannya, ada hiasan-hiasan khas yang dipajang di dinding. Ornamen tersebut membuat Warung Makan Acil Inun memberikan suasana hangat dan nyaman untuk berlama-lama.

Para pengunjung warung makan khas Kutai ini cukup beragam, mulai dari masyarakat setempat hingga kalangan pejabat dan selebritas. Mereka yang pernah datang ke Samarinda akan merasa rugi jika ketinggalan untuk mampir dan mencoba hidangan khas dari Kota Raja ini. Sumber




Ciri Khas Kutai Kartanegara

Tenggarong merupakan sebuah kota kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Tenggarong juga merupakan ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kota ini didirikan pada tanggal 28 September 1782 oleh Raja Kutai Kartanegara ke-15, Aji Muhammad Muslihuddin, yang dikenal pula dengan nama Aji Imbut.
Semula kota ini bernama Tepian Pandan ketika Aji Imbut memindahkan ibukota kerajaan dari Pemarangan. Oleh Sultan Kutai, nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Namun pada perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan “Tenggarong” hingga saat ini.
Tenggarong memiliki ciri khas budaya yang tradisinya setiap tahun dirayakan bisa dinamakan “ERAU”. “Erau” merupakan bahasa Kutai yang berarti ramai, hilir mudik, bergembira, dan berpesta ria. Perayaan ini pertama kali dilaksanakan ketika putra tunggal petinggi negeri Jahitan Layar, Aji Batara Agung Dewa Sakti, berusia lima tahun.
Perayaan Erau untuk pertama kali digelar pada upacara “Tijak Tanah” dan “Mandi Ke Tepian”, ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Erau juga dilaksanakan setelah ia dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325). Sejak saat itu, Erau selalu diadakan setiap terjadi pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Pada perkembangannya Erau juga diselenggarakan dalam rangka pemberian gelar dari raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap Kerajaan.
Dalam tradisinya, pelaksanaan Erau dilakukan oleh kerabat keraton/istana. Mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan. Membawa berbagai bahan makanan, ternak, dan juga para seniman di tempatnya. Dalam upacara Erau ini, Sultan serta kerabat keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada rakyat sebagai tanda terima kasih Sultan atas pengabdian rakyatnya.
Penyelenggaraan Erau yang terakhir menurut tata cara Kesultanan Kutai Kartanegara dilaksanakan pada tahun 1965. Bertepatan dengan upacara pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Sementara pelaksanaan upacara Erau sebagai upacara adat Kutai dalam usaha pelestarian budaya yang diprakarsai Pemerintahan Kabupaten Kutai, baru diadakan pada tahun 1971 atas prakarsa Bupati Kutai saat itu, Drs.H. Achmad Dahlan.
Festival Erau “versi Pemerintahan Kabupaten Kutai” yang dilaksanakan 2 tahun sekali, kini telah masuk dalam calendar of events pariwisata nasional. Lambat laun, festival Erau tidak lagi diidentikan dengan seni budaya tradisi Keraton Kutai Kartanegara. Mengingat materi acara yang disajikan sudah sangat beragam. Mencakup berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Perayaan Erau | Foto dari: kutaikartanegara.com
Ciri khas makanan Tenggarong adalah amplang kuku macan , terbuat dari ikan tenggiri dan sagu yang dijadikan kerupuk. amplang yang sudah jadi bisa bertahan kurang lebih 1 tahun dari awal pembuuatannya.
Ciri khas pakaian dari tenggarong yaitu Batik Kutai Ampik Gerecek. Batik dengan motif Lembuswana dan motif Pesut Semayang. Perlu diketahui, Lembuswana merupakan salah satu icon atau lambang Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.Dengan warna kuning ke emasan Lembuswana tersebut dilukiskan diatas kain katun berwarna dasar hitam, di sekeliling gambar Lembuswana itu dihiasi gambar motif daun yang melambangkan hutan Kalimantan menjadikan batik tersebut lebih indah.
Sedangakan pada motif Pesut Semayang,aneka warnanya lebih beragam. Pesut yang hanya ada di sungai Mahakam yang terhubung dengan danau Semayang Kecamatan Kota Bangun dilukiskan dengan warna merah cerah. Pesut dalam batik Gerecek itu digambarkan dua ekor yang sedang bermain di danau Semayang, sehingga menimbulkan buih-buih yang dilukis berneka warna. Sumber

1 komentar:


  1. Assalamuallaikum wr.wb…

    Mas Vito yang saya hormati dan sy banggakan.
    Sebelumnya saya sampaikan ketertarikan saya dgn Blog anda tentang risalah sejarah Kutai ini, karena sangat membantu masyarakat dan suku kami dalam mengembangkan kebudayaan Kutai yang indah dan luhur. Namun saya ingin sedikit memberikan koreksi dan saran-saran untuk perbaikan maupun revisi kembali terhadap tulisan-tulisan yang mungkin kurang tepat. Kebetulan saya adalah pencipta dan pemilik, serta pemegang hak cipta Batik Kutai Ampik Gerecek. masih ada beberapa hal yg perlu diperbaiki, agar pembaca tidak salah dalam menafsirkan atau mencermati apa sebenarnya Batik Kutai tersebut. Contoh dalam gambar batik kutai yang mas tampilkan itu bukan saya yang membuatnya, nah kalau mas inigin mendapat skets ataupun gambar batik Kutai yang asli silahkan di klik batik Kutai di facebook ataupun media yang lain, tentunya mas terlebih dulu minta izin sama saya sebagai pemiliknya. Saya tentunya tidak akan keberatan apabila karya cipta saya dipergunakan untuk hal-hal yang baik seperti yang mas lakukan sekarang ini. Dan kalau boleh tahu mohon mas sampaikan kepada saya, darimana referensi gambar batik Kutai motif Lembuswana itu didapatkan dan dipasang dalam Blog tersebut…mohon disampaikan kpd saya. Terima kasih atas perhatiannya….

    BalasHapus